Berfikir rasional dipakai bila kita ingin maju, ingin mempelajari ilmu. Juga amat perlu bila kita bekerja untuk kepentingan orang banyak, masalah publik, dimana berhadapan dengan bermacam macam orang, tradisi dan kepercayaan, maka kita bakal punya alasan obyektif yang bisa ditunjukkan kepada orang banyak (transparansi), punya alat bukti, punya referensi, bisa diperdebatkan (argumentasi yang logik dan relevan) serta bisa dibandingkan karena punya alat ukur. Hal hal yang emosional tidaklah demikian. Berfikir rasional lawannya adalah berfikir emosional.
Berfikir emosional berguna untuk mendapat rasa senang. Bahagia dan kepuasan pribadi, yang didasari selera. Tolok ukur selera berbeda pada setiap orang, sesuai tingkat senang dan tidak senangnya seseorang, itu artinya tidak universal. Berfikir emosional menjadi dasar ikatan-ikatan emosional, dan tindakan tindakan emosional. Tetapi sukar dimengerti orang lain.
Disini tidak perlu ada fakta atau sesuai fakta, atau pembuktian, cukup dugaan, simbol, atau rekayasa atau fantasi yang keluar dari rasa senang tidak senang, suka tidak suka, benci, sayang, penghormatan, percaya, kagum, respect, persahabatan, kekeluargaan dll. Misalnya si A bisa begitu cinta (=emosional) kepada seseorang atau suatu ajaran tetapi orang lain tidak habis pikir mengapa dia bisa begitu tergila gila dengan orang itu atau ajaran itu.
Cara berfikir spiritual, yang keluar dari keinginan tahu, kagum, juga sangat penting untuk menimbulkan inspirasi, motive dll. Berfikir spiritual, filosofis merupakan kegiatan awal, untuk dijabarkan lebih lanjut melalui pola fikir rasional maupun emosional. Hanya saja bila motive dan rencana itu berhubungan dengan kepentingan publik atau akan dijalankan diranah publik maka perlu pertimbangan lain yang rasional. (Berfikir spiritual dalam pembicaraan disini, saya jadikan satu dengan yang emosional, karena sama sama tidak harus ada data faktual atau pembuktian).
Apakah berfikir emosional itu salah atau tidak baik?
Masing masing punya manfaat dan tempatnya yang sesuai.
Jadi untuk kepentingan dan kesenangan pribadi atau kelompok yang punya kepentingan sama, bisa bertindak emosional dengan cara berfikir emosional.
Tetapi dalam masyarakat yang luas, yang berbaur , yang bhineka maka kita harus bertindak dengan menggunakan cara yang rasional, supaya bisa dimengerti dan bisa diikuti alur fikirnya oleh orang banyak.
Kita menghargai masing masing orang atau kelompok orang, yang Bhineka itu. Dengan cara berfikir emosionalnya, budaya kelompoknya dalam wadah personal domain, tetapi kitapun harus menjunjung tinggi kepentingan bersama, kepentingan seluruh macam orang dinegara ini berupa kebijakan Tunggal, tidak memihak, dengan berfikir yang rasional dalam wadah public domain. Demikianlah secara prinsip, kita haruslah mengenal pemisahan antara kepentingan publik tidak tercampur dengan kepentingan personal.
Masing masing punya manfaat dan tempatnya yang sesuai.
Jadi untuk kepentingan dan kesenangan pribadi atau kelompok yang punya kepentingan sama, bisa bertindak emosional dengan cara berfikir emosional.
Tetapi dalam masyarakat yang luas, yang berbaur , yang bhineka maka kita harus bertindak dengan menggunakan cara yang rasional, supaya bisa dimengerti dan bisa diikuti alur fikirnya oleh orang banyak.
Kita menghargai masing masing orang atau kelompok orang, yang Bhineka itu. Dengan cara berfikir emosionalnya, budaya kelompoknya dalam wadah personal domain, tetapi kitapun harus menjunjung tinggi kepentingan bersama, kepentingan seluruh macam orang dinegara ini berupa kebijakan Tunggal, tidak memihak, dengan berfikir yang rasional dalam wadah public domain. Demikianlah secara prinsip, kita haruslah mengenal pemisahan antara kepentingan publik tidak tercampur dengan kepentingan personal.
Kegiatan emosional tetapi tidak berbahaya bagi publik, tidak mengganggu aktifitas publik, sebaliknya malah bisa menggembirakan publik seperti pementasan budaya, seni, tentu yang demikian, boleh berada di ranah publik. Kadang-kadang justru kepentingan /kegiatan publik terpaksa mengganggu kepentingan personal, seperti pelebaran jalan, kalau itu memang harus dilakukan, maka harus diberikan kompensasi. Berfikir emosional bisa untuk dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri (di personal domain). Tentu diapun bisa juga memakai cara berfikir rasional ini untuk dirinya sendiri atau kelompoknya bila ingin maju. Sedangkan yang rasional dia harus pakai dalam posisinya sebagai anggota masyarakat yang bhineka di public domain.
Dengan mengenal kedua pola berfikir dan kedua ranah ini maka kita akan bisa menempatkan diri. Pola berfikir dan tindakan yang mana yang cocok untuk urusan pribadi dan mana yang cocok untuk urusan publik.
Kiranya ini menjadi sangat penting untuk menjaga ketertiban masyarakat agar tidak jatuh dalam anarki, korupsi, nepotisme dan terorisme . Anarki dan terorisme hanya terjadi bila kepentingan pribadi atau kelompoknya mau dipaksakan ke kelompok lain (masuk dalam domain personal lain) atau kedalam domain publik .
Sedangkan Korupsi dan Nepotisme terjadi bila mereka, para pejabat publik, menggunakan fasilitas publik atau fasilitas negara, untuk kepentingan pribadinya, atau kelompoknya (keluarga dan kroninya). Masih tercampur.
Kepentingan publik haruslah sesuatu yang berpotensi dibutuhkan orang banyak, artinya oleh setiap orang anggota, atau setiap kelompok masyarakat, lintas kelompok, di domain publik itu. Misalnya keamanan, jalan raya pastilah dibutuhkan semua orang. Kalau sampai ada satu kelompok saja dalam domain publik yang tidak membutuhkan masalah itu, maka masalah itu tidak bisa disebut sebagai masalah publik, tetapi itu adalah masalah pribadi atau personal.
Produk negara, kegiatan kenegaraan, serta cara-cara negara, seperti pemilihan umum, adanya partai politik serta undang undang seharusnya adalah hal hal yang melulu kepentingan publik , kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Bukan berorientasi kepada kepentingan kelompok. Kalau yang terjadi adalah kepentingan kelompok, maka kegiatan negara ini seolah olah hanya milik kelompok tertentu, milik rejim tertentu.
Tetapi karena pengertian personal issue , public issue dan personal domain serta public domain belumlah kuat , belum membudaya, maka banyak hal hal yang sifatnya personal atau kelompok atau kedaerahan, sampai saat ini masih berkecimpung dalam public domain, dalam bentuk undang undang, peraturan atau tradisi pejabat.
Reformasi yang digebrak tahun 1998 mempunyai slogan hapuskan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) adalah gambaran betapa hebatnya waktu itu masalah personal issue masuk dalam public domain. Kepentingan personal para pejabat masuk menjadi urusan negara.
Tetapi saat itu para tokoh reformasi, pimpinan politik dan negara belum mampu menerjemahkan reformasi sampai ke akarnya yaitu menghindari tercampurnya masalah personal masuk public domain.
Sampai saat ini belum ada suatu produk hukum yang keluar, yang mengatur secara umum untuk melarang personal issue masuk dalam public domain .Maka menurut hemat saya tujuan reformasi itu macet, KKN masih berjalan terus.
Jadi, Reformasi bukanlah kebablasan. Kalau kebablasan artinya kita pernah sampai dan keluar menembusnya. Yang ada adalah kita belum pernah sampai.
Tampaknya kita sudah terlalu lama dan sudah terlalu jauh meninggalkan prinsip penting dalam bernegara, yaitu berperilaku menempatkan masalah apa ditempat mana, secara benar, bukan menempatkannya secara acak .
Bila saja kepentingan kelompok tertentu dapat prioritas dipublik domain, itu akan menimbulkan rasa diskriminatif, rasa iri, mengusik rasa keadilan. Kita akan sukar bersatu, aman dan maju. Maka tidak ada pilihan lain dari pada mengubah perilaku ini sampai ke dasarnya. Kepentingan kelompok seharusnya diurus sendiri oleh kelompoknya.
Perubahan perilaku yang didasari penempatan pola pikir itu menjadi infrastruktur pembangunan mental bangsa.dalam menhadapi masalah publik.
Dengan mengenal kedua pola berfikir dan kedua ranah ini maka kita akan bisa menempatkan diri. Pola berfikir dan tindakan yang mana yang cocok untuk urusan pribadi dan mana yang cocok untuk urusan publik.
Kiranya ini menjadi sangat penting untuk menjaga ketertiban masyarakat agar tidak jatuh dalam anarki, korupsi, nepotisme dan terorisme . Anarki dan terorisme hanya terjadi bila kepentingan pribadi atau kelompoknya mau dipaksakan ke kelompok lain (masuk dalam domain personal lain) atau kedalam domain publik .
Sedangkan Korupsi dan Nepotisme terjadi bila mereka, para pejabat publik, menggunakan fasilitas publik atau fasilitas negara, untuk kepentingan pribadinya, atau kelompoknya (keluarga dan kroninya). Masih tercampur.
Kepentingan publik haruslah sesuatu yang berpotensi dibutuhkan orang banyak, artinya oleh setiap orang anggota, atau setiap kelompok masyarakat, lintas kelompok, di domain publik itu. Misalnya keamanan, jalan raya pastilah dibutuhkan semua orang. Kalau sampai ada satu kelompok saja dalam domain publik yang tidak membutuhkan masalah itu, maka masalah itu tidak bisa disebut sebagai masalah publik, tetapi itu adalah masalah pribadi atau personal.
Produk negara, kegiatan kenegaraan, serta cara-cara negara, seperti pemilihan umum, adanya partai politik serta undang undang seharusnya adalah hal hal yang melulu kepentingan publik , kepentingan seluruh lapisan masyarakat yang bhineka tunggal ika. Bukan berorientasi kepada kepentingan kelompok. Kalau yang terjadi adalah kepentingan kelompok, maka kegiatan negara ini seolah olah hanya milik kelompok tertentu, milik rejim tertentu.
Tetapi karena pengertian personal issue , public issue dan personal domain serta public domain belumlah kuat , belum membudaya, maka banyak hal hal yang sifatnya personal atau kelompok atau kedaerahan, sampai saat ini masih berkecimpung dalam public domain, dalam bentuk undang undang, peraturan atau tradisi pejabat.
Reformasi yang digebrak tahun 1998 mempunyai slogan hapuskan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) adalah gambaran betapa hebatnya waktu itu masalah personal issue masuk dalam public domain. Kepentingan personal para pejabat masuk menjadi urusan negara.
Tetapi saat itu para tokoh reformasi, pimpinan politik dan negara belum mampu menerjemahkan reformasi sampai ke akarnya yaitu menghindari tercampurnya masalah personal masuk public domain.
Sampai saat ini belum ada suatu produk hukum yang keluar, yang mengatur secara umum untuk melarang personal issue masuk dalam public domain .Maka menurut hemat saya tujuan reformasi itu macet, KKN masih berjalan terus.
Jadi, Reformasi bukanlah kebablasan. Kalau kebablasan artinya kita pernah sampai dan keluar menembusnya. Yang ada adalah kita belum pernah sampai.
Tampaknya kita sudah terlalu lama dan sudah terlalu jauh meninggalkan prinsip penting dalam bernegara, yaitu berperilaku menempatkan masalah apa ditempat mana, secara benar, bukan menempatkannya secara acak .
Bila saja kepentingan kelompok tertentu dapat prioritas dipublik domain, itu akan menimbulkan rasa diskriminatif, rasa iri, mengusik rasa keadilan. Kita akan sukar bersatu, aman dan maju. Maka tidak ada pilihan lain dari pada mengubah perilaku ini sampai ke dasarnya. Kepentingan kelompok seharusnya diurus sendiri oleh kelompoknya.
Perubahan perilaku yang didasari penempatan pola pikir itu menjadi infrastruktur pembangunan mental bangsa.dalam menhadapi masalah publik.
Infrastruktur-fisik adalah jalan raya, energi (listrik mis), air bersih, terminal bus, kapal laut, kapal terbang. Kalau itu sudah tersedia dengan baik, maka pembangunan fisik seperti industri, perdagangan, dll akan mudah.. Kita mudah maju. Begitu pula infrastruktur mental dalam hal ini memakai berfikir rasional diranah publik, akan memudahkan para pejabat publik membuat keputusan yang benar, begitu pula seluruh bangsa ini bisa mengontrol perilaku para pejabat, bangsanya dan dirinya sendiri secara benar. Kita mudah bersatu, makmur dan maju.
Sungguh prihatin dinegara ini masih saja tampak kejadian diranah publik orang bentrok keroyokan satu kelompok dengan kelompok yang lain, demo yang brutal, anarki, menggambarkan perilaku emosional diranah publik, menunjukkan masih rendahnya infrastruktur mental ini. Bahkan digedung DPR, gedung negara untuk memecahkan masalah negara masih ada yang membentuk kubu, fraksi, poros. Yang begini pastilah akan berorientasi pada kepentingan kelompoknya, bukan kepentingan rakyat pada umumnya. Ini menunjukkan belum membudayanya pemikiran diatas bagi kebanyakan orang dan para pejabatnya.
Tanpa pengertian yang menyeluruh dan membudaya, dibangsa ini kita akan sukar untuk berubah.
Oleh karena itu untuk bersatu, aman, makmur dan maju tidak ada pilihan lain daripada mengembangkan prinsip ini dalam system yang kuat, dilaksanakan dengan kepimpinan yang bersih serta dijaga oleh aparat yang tangguh.
Semoga,……
Oleh karena itu untuk bersatu, aman, makmur dan maju tidak ada pilihan lain daripada mengembangkan prinsip ini dalam system yang kuat, dilaksanakan dengan kepimpinan yang bersih serta dijaga oleh aparat yang tangguh.
Semoga,……
Tidak ada komentar:
Posting Komentar