KabarIndonesia - Reshuffle Presiden SBY memberikan gambaran ketidak-mampuan lobi terhadap hegemoni Partai dan Fraksinya. Kabinet hasil reshuffle menghadapi persoalan lebih serius tentang lemahnya Presiden terhadap elit politik. Atau, justeru karena elit politik itu berhubungan dengan lingkar dalam Presiden dan dengan sendirinya Presiden tetap menyisihkan persoalan terbuka, terutama dugaan korupsi yang melibatkan Partai Demokrat Andi Mallarangeng dan Menakertrans Muhaimin Iskandar, ditampilkan terbuka ke hadapan Publik.
Grasa-grusu dan show politik Reshuffle yang disorot pengamat, memang tidak menggeser situasi dan subtansi mendasar,karena itu pesimisme dan frustrasi masyarakat, antara lain terhadap itikad dan kampanye pemberantasan korupsi Presiden, dianggap lip service. Korupsi sebagai extra ordinary crime akan terus menghantui Kabinet baru, karenanya tidak menghentikan tuntutan masyarakat.
Diskrepansi sikap yang ditonjolkan Presiden, tidak satunya kata dan tindakan, adalah bentuk ekstrim retorika sikap Presden, ketika kampanye penguatan KPK (pada tingkat perkataan) pada faktanya (tindakan) adalah penghancuran terang-terangan oleh legislatif yang berhubungan daya-tawar politik dengan kekuasaan. Lumrah bagi masyarakat untuk menduga, retorika ekstrim itu menjadi strategi Presiden berhadapan dengan kehendak publik, setelah Presiden gagal berhadapan dengan hegemoni Partai, ya Fraksi DPR.
Kampanye paling akhir Presiden SBY, bahwa "Uang Negara dirampok" di satu sisi, sementara pada saat yang sama, secara diam atau terbuka sedang menyunati wewenang KPK adalah ironisnya Retorika ekstrim Presiden itu. Tidak mudah membuktikan, kecuali dalam premis indikator fakta dan konteksnya.
Pancasila Landasan Idiil Politik
Suara keprihatinan Tokoh Lintas Agama merepresentasi sebagian besar kehendak masyarakat Indonesia akan adanya krisis moral dan etiko publik penyelenggaraan Negara. Sudah sedemikian terbuka pembohongan publik yang telah disampaikan Tokoh Lintas Agama awal tahun ini. Di sisi lain setiap agenda Presiden SBY, muncul mekanisme defensif terbuka terhadap suara para penjaga pagar moral publik itu. Bahasa vulgar harian yang dapat disederhanakan dari sikap Presiden terhadap keprihatinan para alim-ulama adalah "Ini sikapku, apa mau Anda?"
Para Ulama tidak berkepentingan dengan personel dalam Kabinet. Mereka bersikap kritis terhadap penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa, dan pada gilirannya memberikan masyarakat kepercayaan bahwa Pemerintahan SBY dapat didukung dan dibela. Tetapi, membiarkan sebagian orang terus berkutat dalam Kabinet, sementara dugaan tindakan koruptif mereka dibiarkan menganga, hanya menjadi bom waktu - suka tidak suka - reshuffle paksa atau mosi tidak percaya menyeluruh terhadap Pemerintahan SBY.
Diskrepansi sikap dalam kampanye penguatan KPK di satu pihak, dan upaya-upaya penghancuran terbuka KPK di pihak lain, yang dijalankan bersama Presiden dan Kabinet "Hasil Negosiasi Partai" dikhawatirkan sedang membenarkan kekuatan perselingkuhan politik eksekutif dan legislatif, ya Presiden dan sebagian Fraksi DPR RI, untuk agenda penghancuran KPK, hasil gerakan reformasi mahasiswa, yang sebagiannya telah terjangkiti virus kekuasaan.
Proses Reshuffle Presiden SBY memang ‘berhasil' meredam aksi koruptif M. Nazarudin yang memukul telak Partai Demokrat, serta melibatkan elitnya dalam Kabinet, dalam kasus Wisma Atlet. Agenda pembaharuan UU dan kampanye penguatan KPK, dan konon Lembaga lain, akan dinilasi sebagai kebohongan terbuka lainnya dari Presiden SBY yang diduga telah masuk terlalu jauh dalam proses pro justitia di bawah KPK, yang (seharusnya) telah dilakukan secara lebih berani dan pasti didukung masyarakat.
Proses penggantian Pimpinan KPK dan wacana penggodokan UU KPK yang baru, membuka ruang spekulasi masyarakat akan adanya tawar-menawar DPR RI yang sedang berurusan dengan KPK, bersamaan waktu dengan kampanye retorika Presiden terhadap Lembaga KPK yang terbentuk di bawah mantan Presiden Megawati, dan sempat mengangkat citra SBY.
Mengubah satu titik pun saja dari UU KPK yang ada dengan situasi kondisional seperti sekarang, akhirnya hanya membenarkan politik diskrepansi Presiden. Kalau semua itu terjadi, jejak peristiwa dan kampanye "KPK adalah lembaga Superbody", "Cicak-Buaya", dan titik kulminasi pada "Kriminalisasi mantan Ketua KPK Antasari Azhar", sulit untuk tidak dihubungkan dengan diskrepansi politik terbuka Presiden SBY.
Wahai Presiden SBY, seruan para Alim-Ulama jangan tidak digubris. Untuk suatu Etika Publik, mereka merepresentasi dan menyuarakan "Vox populi, vox Dei", suara rakyat , suara Tuhan. Ulama membawa keduanya: tidak ada diskrepansi di sana, karena kepentingan rakyat adalah kepentingan mereka, bukan kedudukan dan kekuasaan. Kalau Ulama bukan panitia masuk surga atau pemegang kuncinya, (mungkin) mereka jalan ke sana. Jika tidak ada politik diskrepansi dalam demokrasi ideologi kita. Pancasila belum dihapus sebagai landasan idiil Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar